Terik
matahari kian menuju puncaknya. Aku mempercepat gerakan tanganku untuk segera
keluar kamar. Tak nyaman rasanya kalau teman-teman asrama menungguku. Karena
bisa dipastikan, mereka tak akan berhenti mengunci mulutnya.
Ku
buka pintu asrama pelan dan sedikit terkejut dengan pemandangan di depan
asrama. Ada beberapa perempuan dari asrama sebelah yang tengah belajar bersama
tutor lelaki yang baru aku lihat selama aku tinggal dan belajar di Pare,
Kampung Inggris.
Tiga
bulan yang lalu, tepatnya awal Januari 2011 aku memutuskan untuk pergi ke Pare,
Kediri. Meminta persetujuan orang tua agar mereka merestui aku untuk jauh dari
mereka. Meskipun sebenarnya alasan itu sama sekali tak benar. Aku hanya ingin
suasana yang baru dan aktifitas yang lebih menantang. Karena semenjak lulus
SMA, aku sengaja tak melanjutkan pendidikanku ke perguruan tinggi. Aku
beralasan bahwa kuliah hanya untuk ajang pamer titel. Tak ada kesungguhan belajar di sana. Pun, hanya akan
menghabiskan uang orang tua. Maka keputusan untuk tak melanjutkan pendidikan ke
perguruan tinggi adalah keputusan yang terbaik menurutku. Setelah enam bulan
tak beraktifitas, aku dilanda bosan hebat. Keinginan kuat untuk kuliah
tiba-tiba datang begitu saja. Ku utarakan keinginanku untuk melanjutkan kuliah.
Tapi ke dua orang tuaku memberikan keputusan yang bijaksana saat itu. karena
tak mungkin aku bisa mendaftar ke perguruan tinggi yang aku inginkan. Maka untuk
mempersiapkan diri, mereka menawarkanku untuk belajar Bahasa Inggris langsung
di tempat yang didengung-dengungkan sebagai Kampung Inggris, Pare.
Aku
masih tak melihat teman-teman asrama di sana. Maka aku mengambil duduk yang
agak jauh dari mereka sembari mendengarkan semua penjelasan tutor yang duduk
tepat di samping papan tulis itu. Sambil mendengarkan, sesekali aku menatap
wajah tutor itu agak lama, dan Tersenyum jika tatapanku beradu dengannya.
Ada
yang aneh dengan perasaanku. Aku tak tahu kenapa aku sangat penasaran dengan
tutor yang baru aku lihat ini. Tiba-tiba saja aku menantang diriku sendiri dan
tanpa sadar mengucapkan, “Andai dia bisa jadi..........”
Tepukan
lembut di bahuku membuat kesadaranku pulih. Teman-teman asrama sudah berdiri di
sampingku dan bersiap untuk berangkat ke pernikahan Mr. Kaka, salah satu tutor yang
mengajar di SMART ILC,
tempat aku belajar Bahasa Inggris
selama ini.
*****
Enam
minggu berlalu, semenjak pertemuan pertamaku dengan tutor yang mengajar di
depan asramaku. Beberapa kali kita berdua saling bertegur sapa saat bertemu.
Meskipun aku masih belum mengetahui siapa namanya. Tapi, senyumnya sudah menjadi isyarat
bahwa dia tutor yang baik. Begitulah penilaianku untuk sementara.
*****
“Mbak,
kamu kenal sama Mr. Smile?” Tanya Farida, teman sekelasku.
“Iya,
tau orangnya. Cuma nggak begitu kenal
sih. Kenapa?”
“Dia
naksir kamu loh.” Mataku membulat dan
menatapnya dengan pandangan menyelidik. Farida malah mengerling menggodaku.
“Kemarin,
waktu kita satu ruangan sama dia, diam-diam dia mengagumi loh.”
“Maksud
kamu?”
“Ya,
kemarin waktu kamu melantunkan Nadzom
Alfiyah saat aku berdebat dengan Mr. Syafii. Dia nggak percaya kalau ternyata di sini ada cewek yang lancar
melantunkan Nadzom Alfiyah. Nah, semenjak itu dia mencari-cari tau
tentang kamu.”
Ada
perasaan aneh yang menyelinap di hatiku. Wajahku terasa panas menahan malu.
Teringat kembali saat pertama kali bertemu dengannya dan tiba-tiba mengucapkan
keinginan anehku, “Andai dia bisa jadi...............” Apa benar aku korban
pandangan pertama?
“Dia
mau ketemu sama kamu. Gimana, mau nggak?”
Suara
Farida membuyarkan lamunanku. Aku hanya tersenyum dan membuatnya semakin
penasaran.
*****
Gresik, 05 Januari 2014
Based on true story
1 komentar :
how are you?
boleh aku belajar dengan mu
Posting Komentar